Pesta Makan Sore (Part 1)

Hari itu seperti biasanya. Berlalu begitu saja. Awan mendung dan angin yang lumayan kencang menghiasi gelapnya langit hari itu. Matahari pun malu mengintip di kejauhan sana. Awan tebal hari itu benar-benar mendukung siapapun untuk bersantai di sore hari. Ditemani secangkir teh hangat dan kue-kue kering.

Seperti hari minggu biasanya. Tidak ada yang bias dibilang spesial. Tidak ada perayaan yang harus dirayakan. Sepasang kekasih yang saling berbincang di tempat-tempat makan pinggir jalan, arus kendaraan yang lalu lalang ketempat tujuan mereka masing-masing, atau tukang martabak bangka yang sudah menyiapkan dagangannya untuk dijual malam hari itu di pinggir jalan. Detik terus berputar tanpa ampun.

Tapi berbeda untuk mereka bertiga, ada pesta yang mereka buat di sana. Ada ritual kecil yang ingin mereka bertiga lakukan saat itu.Ya, hanya kecil-kecilan. Ritual ini sudah dua kali mereka lakukan. Sekarang mereka tepat melaksanakannya di hari kesepuluh bulan keenam tahun ini.

Rangga dan Adi sudah duduk di bangku lesehan restoran seafood itu lebih dulu. Restoran yang cukup mewah untuk ukuran isi kantong mereka berdua. Tempat makan yang luas, dan dibuatkan saung-saung khusus untuk mereka para pencinta makanan laut. Gemericik air kolam buatan yang mengalir dan beberapa tanamanan yang tumbuh dibuat sealami mungkin untuk menambah nilai lebih dekorasi restoran itu. Meja makan coklat di sebelah utara yang mereka pilih tanpa ada persetujuan rumit. Mereka duduk di sana.

Mereka berbincang seperti sahabat lama. Kadang-kadang serius, kadang-kadang konyol. Kadang-kadang kening mereka berkerut, kadang-kadang mereka terpingkal-pingkal. Kadang-kadang juga keheningan menyelimuti mereka. Membisu seperti tidak ada kata yang pantas mengudara kala itu.

Perbedaan mereka sangat kentara. Adi benar-benar menyiapkan penampilan pada hari itu. Dengan kaos putih halus yang dibalut jaket kulit hitamnya yang hanya dipakai di acara-acara untuk bertemu orang tertentu dan jeans casualnya. Tak lupa sepatu kulit coklat bersih yang baru dibelinya bulan kemarin. Berbeda dengan Rangga, hanya memakai kaos polos hijau dan celanapendektiga per empat hitam serta sepasang sandal jepit. Biasa saja, seperti ingin pergi bermain sepak bola di halaman depan rumahnya. Tapi Rangga terlihat lebih menarik daripada Adi. Wajahnya tampan, putih, dan bersih dibandingkan Adi yang berkulit kecoklatan. Memang sudah dari sananya seperti itu..Sudah banyak juga wanita yang naksir Rangga, namun tak ada yang dihiraukannya.

Rangga orang yang pemalu, pintar, cuek, terkenal di sekolahnya, tim inti sepak bola sekolah, anak kesayangan setiap guru, dan seperti tidak ada kekuarangan dalam dirinya. Semua orang ingin menjadi seperti dia. Tidak jauh berbeda dengan Adi, tidak kalah pintar, masuk universitas terkemuka, penulis, blak-blakan, bisa diandalkan, easy going,dan tidak pernah ketinggalan informasi tentang kemajuan teknologi yang paling mutakhir masa kini. Mereka terpaut dua tahun. Adi lebih tua daripada Rangga tapi mereka tetap akrab. Mereka punya selera makan yang sama, suka masakan arab dan beraneka ragam seafood.

Di tengah keasyikan mereka berdua berbincang-bincang, orang yang paling mereka tunggu sore itu datang.Dara. Masih seperti biasanya, cantik, anggun, dan tidak bias ditebak. Dara bisa mengunci semua pandangan dan waktu di setiap jalan yang ia lewati. Seakan ia adalah Sang Pemegang Kendali Tombol Waktu, ia bisa menghentikannya kapan saja. Sesukanya.
Ada kekekalan yang mereka rasakan ketika mereka bertiga sudah berkumpul dalam satu meja. Tidak ada jabat tangan di antara mereka bertiga. Tidak ada salam sapa walaupun sudah hampir berbulan-bulan mereka tidak bertemu dan duduk lagi dalam satu meja. Yang ada hanyalah kesunyian dan hati yang hanya bisa mencoba menerka. Tidak ada kata yang bisa memecah kesunyian yang tiba-tiba itu kecuali Dara sendiri.

“Udah kelamaan ya kalian nunggu?”

Comments

Popular posts from this blog

Masa Jahiliyah

Everyday and Everynight Cover