Butuh Uang. Segera.

Di suatu pagi saya terbangun dari tidur beberapa menit setelah salat subuh berjamaah di musala telah selesai. Akhirnya saya bangun dan masih tetap duduk di kasur sambil mengumpulkan kesadaran dari tidur semalam. Pusing. Itu yang saya rasakan. Sambil memejamkan mata kembali, saya baringkan lagi kepala saya di atas bantal. Memejamkan mata kuat-kuat, dan menarik napas panjang serta berharap pusing di kepala akan segera hilang ketika saya buka mata. Tetapi hasilnya sia-sia.

Sambil berbaring dengan keadaan setengah sadar, terdengar orang membuka pintu pagar depan rumah saya (waktu itu saya tidur di ruang tamu sehingga saya bisa mendengar suara pintu pagar yang beradu). Saya pikir itu pasti Papa. Ternyata benar, setelah itu (seperti biasa) Papa duduk di depan teras rumah kami membuka Al-quran dan membacanya. Itulah yang dilakukan Papa setiap hari dan saya secara diam-diam mengagumi sosok Papa yang bisa konsisten menjaga aktivitas ibadahnya agar tetap hidup. Padahal dulunya Papa bukan lulusan pesantren seperti saya yang "lebih banyak" tahu ilmu agama. Diam-diam saya paham, ilmu bukan tentang seberapa banyak orang menimbanya, tetapi sedikit, diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga bermanfaat.


Tiba-tiba dari arah kamar, Mama menghampiri Papa di teras depan rumah. Dengan suara yang berusaha dipelankan volumenya, Mama berbicara dengan Papa mengenai pendidikan adik saya yang sebentar lagi lulus dari SMA. Biaya kuliah yang tidak murah adalah akar permasalahan yang terjadi seperti dua tahun yang lalu saat saya masuk perkuliahan.



***


Dua tahun lalu, saya tidak pernah peduli dengan keadaan keuangan keluarga. Saya hanya tahu satu hal, saya ingin masuk UI! Apapun caranya, apapun jalannya. Saya pikir, Papa yang langsung mencium kening saya saat pengumuman masuk UI yang disertai biaya BOP (sebesar tiga belas juta lima ratus ribu rupiah) menyanggupi biaya tersebut.  Raut wajah Papa pun tiba-tiba berubah ketika melihat jumlah uang yang harus dibayar saat melihat biaya kuliah saya sebesar itu. Kira-kira biaya tersebut harus diselesaikan dalam waktu sekitar satu bulan dan tanpa boleh menyicil. Akan tetapi Papa berusaha menyembunyikan dengan kebahagian anaknya bisa tembus di PTN-yang-kata-orang-nomor-satu-di-Indonesia itu.


Sisa beberapa hari sebelum batas pembayaran, saya disuruh cek pembayaran kuliah di internet: Lunas. Entah dari mana Papa dapat uang sebanyak dan secepat itu. Parahnya, saya lupa berterimakasih sama Papa karena sudah berhasil bisa memberikan pendidikan mahal kepada anaknya. Waktu itu yang saya depankan hanya egois semata ingin tetap mengerjar mimpi saya kuliah di UI tanpa peka terhadap keadaan di sekitar. Padahal sebulan sebelumnya, saya dapat beasiswa di jurusan S1 Komunikasi Gunadarma yang bebas biaya selama perkuliahan, tetapi saya tolak walaupun Papa menyarankan agar saya menerima beasiswa tersebut.


Papa tidak pernah bercerita kepada saya tentang asal-muasal uang tersebut sampai saya masuk kuliah. Itulah Papa yang selalu menyembunyikan kesusahan menghadapi persoalan keluarga kami yang sensitif; uang. Papa bertanggung jawab penuh untuk urusan itu dan akan memperjuangkannya demi kebahagiaan keluarga kami. Ia tidak pernah mengeluh sedikitpun atau berputus asa. Ia selalu menghindari kata "tidak bisa" dan menggantinya dengan "belum bisa" sampai suatu saat "bisa" menjadi kenyataan di depan mata. Ia tidak pernah mencari rezeki yang tidak halal sambil terus menjaga aktivitas ibadahnya yang konsisten setiap waktu; salat berjamaah di masjid di awal waktu, membaca al-quran setelahnya, puasa sunah senin-kamis, dan salat dhuha sebelum berangkat kerja. Itulah aktivitas andalan Papa yang aku tahu agar kehidupan semakin berkah.

Diam-diam, saya semakin cinta kepada beliau.

Dan itulah juga mungkin alasan hari ini saya bisa terus kuliah. Bahkan secara tiba-tiba dapat beasiswa. Biaya kuliah ditanggung sampai saya lulus dan uang saku 600ribu per bulan. Nikmat yang bahkan belum pernah saya mimpikan. Suatu saat saya akan menceritakan mengapa saya bisa mendapatkan kesempatan tersebut.


***


"Papa gak boleh dong gak adil sama Indah. Dulu Papa tetap bayarin Fadli waktu masuk UI, 13juta. Sekarang, walaupun adiknya gak masuk UI tetap harus dibayarkan 11jutanya. Indah mau banget kuliah di sana. Mungkin memang sudah begitu jalannya."


Papa terdiam agak lama. Entah apa yang dipikirkannya waktu itu. Saya hanya bisa mendengar keadaan dari balik pintu ruang tamu keadaan di teras pagi itu.


"Papa mungkin bisa pinjam uang lagi ke Pakde Slamet. Pasti dia bisa bantu kita."


Belum ada suara Papa yang menanggapi usul Mama. Ia masih terdiam. Mungkin ia berat untuk kembali mengambil jalan itu. Kembali.


Pakde Slamet adalah kakak tertua dari sembilan saudara dari keturunan Papa. Ia sekarang bekerja di salah satu perusahaan minyak Amerika dan tinggal di sana. Dan satu hal yang saya tahu, dari kesembilan saudara tersebut, Pakde Slamet yang paling berlebih dalam urusan harta. Sehingga ketika adik-adiknya kesusahan, ia bisa membantu.


Setelah percakapan singkat itu aku jadi tahu kalau uang untuk membayarkan aku berkuliah dulu adalah dari hasil pinjaman dengan Pakde Slamet. Papa belum berani pinjam lagi karena uang yang dua tahun lalu dipinjam saja belum bisa dilunasi. Sepagi itu, mata saya tiba-tiba terasa panas. Air mata saya biarkan mengalir dan merembes di atas sprei bantal.


Hal pertama yang saya pikirkan hari itu setelah salat subuh adalah berdoa kepada Allah, semoga Papa semakin dikuatkan dengan cobaan yang dihadapinya dan segera menemukan solusi yang tepat.







Adios!

Fadly


Comments

Popular posts from this blog

Masa Jahiliyah

Everyday and Everynight Cover