This Place Where I Feel Safe [2013]
Dulu, waktu gue kelas 6 SD,
orang tua gue menghadiahkan satu kamar tidur khusus untuk gue. Sedangkan adik
gue waktu itu masih pengen tidur bareng nyokap bokap. Waktu itu gue gak terlalu
suka dengan kamar tidur pribadi kaya gitu. Alasannya, gue waktu itu masih lebih
suka tidur bareng orang tua gue hehe.
Pas gue SMP dan SMA, gue
lebih banyak menghasilkan waktu di luar rumah karena gue tinggal di asrama. Biasanya
gue cuma pulang sebulan sekali. Malah kadang-kadang kalo liburan sekolah doang.
Di asrama gue, sekamar itu kira-kira bisa nampung sekitar dua puluh orang. Di
antara kebanyakan orang di asrama, gue salah satu orang yang rapi untuk urusan
ranjang dan lemari. Gue paling sebel kalo ada yang buka-buka lemari gue tanpa izin,
karena di sana tertampunglah barang-barang yang kadang gue sendiri gak ngerti
kenapa barang itu harus ada di situ. Gue suka menyimpan sesuatu yang bisa bikin
gue kembali ingat akan sebuah kenangan. Karena sejatinya seseorang selalu
senang mengenang.
Di lemari itu ada tiga
tingkat; tingkat pertama untuk buku-buku, tingkat kedua untuk semua pakaian,
tingkat ketiga barang-barang aneh dan kalau ada kiriman makanan dari nyokap. Di
sana juga ada satu buah laci buat naro segala
kebutuhan benda yang gue gak mungkin masukin di ketiga tingkat itu contoh:
sandal.
Gue paling suka tingkat
ketiga dari semua tingkat itu. Di sana ada dua buah kotak sepatu bekas. Kotak
pertama untuk semua kertas-kertas dengan tulisan gue sendiri. Puisi, quotes,sketsa dan berbagai catatan random lainnya. Kalo lagi gak ada
kegiatan, gue kadang-kadang suka buka catetan-catetan di sana. Itulah bagian
kesukaan gue. Kadang gue suka lupa kasih tanggal di kertas-kertas itu, tapi gue
tahu persis kenapa gue nulis itu, gimana prosesnya, dan gue melihat diri
sendiri yang tumbuh dari kata demi kata di setiap kertas yang ada. Gue gak tahu
kapan pertama kali jatuh cinta, tapi kotak itu adalah salah satu hasil dari
proses gue mencintai berbagai macam hal dalam hidup; puisi, manusia, hidup, dan
cinta itu sendiri.
Kotak kedua adalah
tempat-tempat dimana benda-benda yang pernah orang kasih ke gue dan gak sengaja
gue temuin di suatu tempat. Terkadang di sana juga ada benda-benda yang gue gak
pengen orang lain lihat dan pinjam. Buku, bungkus cokelat dari orang,
surat-surat, kaset, tiket bioskop, bon restoran, foto, dan lain-lain. Itulah
bukti otentik dari sebagian arsip dan dokumentasi hidup gue. Gue bisa inget
kapan pertama kali nonton di bioskop. Gue bisa inget hadiah pemberian dari
seseorang dengan kejutannya. Gue bisa inget banyak hal dan banyak susasana yang
pernah gue lewati. This is my journey to
take back what I’m missing.
Okay,
back to the topic.
Kali ini gue mau membahas
tentang kamar. Iya kamar tidur. Dulu gue gak pernah berpikir bahwa punya kamar
tidur sendiri itu sangat menyenangkan. Di rumah gue yang sekarang, gue gak
punya kamar. Kamar yang dulu dihadiahkan buat gue sekarang dipakai sama kedua
adik cewek gue. Jadi, terpaksa gue mengalah untuk tidur di ruang tamu.
Sejak lulus SMA, entah kenapa
gue pengen punya kamar sendiri. Mungkin gue hanya butuh suasana baru dengan
kamar yang tidak seperti di asrama dulu. Gue bisa bebas ngapain aja di kamar
sendiri. Angan-angan itu pasti segera tercapai karena setelah gue masuk UI,
bokap nyuruh gue nyari kosan. Gue waktu itu dibantu kakak kelas gue yang udah
masuk UI duluan. Singkat cerita, gue tinggal bareng dia. Ternyata tempat
tinggal gue yang baru di sana itu kaya sejenis asrama kaya waktu gue SMA dulu.
Bedanya, ini rumah kontrakan dan kita patungan untuk bisa bayar uang kontrakan
itu selama setahun. Jadi, ketika gue udah masuk sana, itu artinya gue sudah
mengikrarkan diri gue di sana untuk
setahun ke depan.
Niat gue pertama kali untuk
punya kamar sendiri akhirnya gagal total. Waktu itu gue udah beberapa kali
minta pindah sama bokap karena alasannya cuma satu: gue pengen punya kamar
sendiri. Tapi, setelah beberapa kali
survey ke beberapa kosan yang ada di sekitar Margonda, Depok ternyata kosan
di sekitar sini mahal-mahal banget dibandingin rumah kontrakan yang gue
tinggalin. Kondisi keuangan keluarga juga lagi gak memungkinkan karena waktu
itu banyak administrasi kampus yang harus didahulukan. Akhirnya gue ngalah
untuk setahun ke depan.
Kurang lebih setengah tahun,
gue sempet pindah. Tapi tetep dengan teman-teman yang sama dan asrama. Waktu
itu bagusnya, asramanya baru, jadi tempatnya masih bagus dan lebih luas dari
yang sebelumnya.
Kira-kira setelah tiga bulan
tinggal di asrama baru itu, datanglah liburan semester genap, sekitar tiga
bulanan. Singkat cerita, saat liburan itu dua orang temen waktu SMA dulu ngajak
gue untuk ngontrak suatu rumah di daerah Depok juga. Di sana ada satu ruang
tamu, dua kamar tidur, satu dapur dan satu kamar mandi. Waktu itu, gue langsung
diskusi dengan bokap soal harga, tempatnya, dan lain-lain tentang kepindahan
gue waktu itu. Akhirnya gue pindah ke rumah kontrakan baru dengan 3 orang teman
lainnya.
Jadilah di sana gue tinggal
sampai sekarang. Awalnya kita berniat satu kamar dijadikan tempat tidur
seutuhnya. Kamar satunya lagi dijadiin untuk naro lemari, barang-barang, tempat shalat, dan lain-lain. Suatu
hari, gue iseng-iseng mindahin lemari,
kasur, dan barang-barang gue ke kemar sebelah. Gue rapihin semuanya. Dan..
Jengjengjeng. Jadilah ruangan itu gue sulap dan jadi kamar gue sepenuhnya.
Sampai sekarang.
Kamar gue itu gak besar,
tapi gak kecil juga. Jadi gue rasa cukup.
Banyak hal yang gue lakukan
di luar kamar, tetapi dari tempat ini gue memulai semua aktivitas itu. Gue
mempersiapkan hari, dari sini. Bagi gue, kamar selalu identik dengan dua kata:
mewujudkan mimpi. Kalau hanya ingin bermimpi, maka kuncilah pintu kamar. Jangan
kemana-mana. Tidurlah sepanjang hari. Tetapi setelah gue menyadari, ternyata
yang penting dari mimpi bukan cuma menuliskan mimpi itu dalam pikiran. Tapi usaha
untuk mewujudkannya. Maka, jatah untuk tidur harus dikurangi.
Dari hal itu gue selalu suka
kara-kata: “Jarang tidur tapi sering mimpi jadi banyak waktu untuk mewujudkan.”
Kadang-kadang, gue suka
untuk menghabiskan waktu dengan diri gue sendiri tanpa ada yang mengganggu. I’d love to be a loner. Gue bisa
berpikir, bekerja, berkarya dan berfungsi dengan baik tanpa ada seorangpun yang
ngomelin.
I
love socializing too. But when I say I want my time alone, I want my time
alone.
Dan di sinilah tempat gue
selalu menutup hari gue. Entah itu dengan senyum atau tangisan. But at the end of my day, what I really need
is just private space of my own. Just me and my self sorting things out.
Di sana gue bisa
menghabiskan banyak waktu sendirian dengan diri gue. This place where I feel safe.
Comments
Post a Comment