Wujudkan Cita-Cita, Semua Berawal dari Kita.
Cita-citaku setinggi tanah. Film ini berhasil membuat saya menangis, berkaca-kaca, bahkan akhirnya tersedu. Saya tidak bisa menyembunyikan tangisan itu, entah karena apa - cerminan diri saya atau terharu karena perjuangan si tokoh utama, Agus, dalam meraih cita-citanya makan di restoran padang. Alur yang ditawarkan dalam film ini begitu mengalir, sederhana, dan yang paling penting saya menikmati alur tersebut.
Dan inilah kata-kata dalam film tersebut yang membuat saya tertegun serta akhirnya terinspirasi untuk punya cita-cita yang 'lebih'.
Namaku Agus. Agus Suryowidodo. Aku tinggal di sebuah desa di
kaki gunung Merapi. Bapakku bekerja di pabrik tahu. Ibuku ibu rumah tangga yang
pandai memasak. Dari kecil aku selalu makan tahu bacem buatan ibuku. Pokoknya tiada hari tanpa tahu
bacem. Sarapanku tahu bacem. Siang makan tahu bacem lagi. Makan malam pun masih
tahu bacem juga. Itu sebabnya aku ingin bercita-cita makan di restoran padang.
Mungkin aneh punya cita-cita seperti aku. Tapi buatku, makan di restoran padang
itu benar-benar mewah. Makanannya macem-macem dan enak-enak. Piringnya banyak
sampai mejanya penuh dan dilayani seperti raja oleh para pelayannya. Biarpun
tidak seperti Mey yang bercita-cita menjadi artis atau Jono yang ingin jadi
tentara, aku tidak malu dengan cita-citaku. Puji bilang kalau cita-citaku ini
rendah, tapi menyusahkan. Aku belajar lebih sabar dan pantang menyerah. Supaya
bisa menabung setiap hari sepulang sekolah, aku bekerja mengantar ayam ke
restoran padang dan aku harus mencari alasan supaya tidak dimarahi bapak ibuku.
Memang akhirnya aku punya cukup uang untuk makan di restoran padang. Aku merasa
enaknya jadi raja walau cuma sebentar. Tapi setelah dipikir-pikir, bukan itu
yang benar-benar aku mau. Buat apa jadi raja kalau tidak punya teman. Apalagi
bikin susah orang tua. Aku jadi belajar bahwa cita-cita itu penting. Tapi bukan
segalanya. Masih ada keluarga. Masih ada teman-teman. Seharusnya cita-cita itu
bukan untuk dinikmati sendirian. Cita-cita seharusnya berguna untuk nusa dan
bangsa. Pengalaman ini menjadi apa cita-citaku yang sesungguhnya. Mbah Tapak
memang benar, cita-cita itu bukan untuk ditulis, tapi untuk diwujudkan.
Comments
Post a Comment