Ibadah Puisi

Saya: "Ayah, udah baca cerpen Kompas hari ini belum? Yang ngarang Jokpin loh. Dia penulis puisi idola kakak."

Sambil melahap nasi goreng buatan Ibu, ia mendengarkan aku bicara dan berkata dengan raut muka terkejut "Oh itu karangan Jokowidodo. Tadi Ayah baru baca judulnya saja."

Aku tidak kalah terkejutnya mendengar ucapannya. "Hush. Ini Jokpin maksudnya Joko Pinurbo. Bukan Joko Widodo".

Sambil terkekeh ia menjawab "Oalah. Kirain Bapak Presiden kita nulis cerpen juga."

Tanpa diminta bercerita aku melanjutkan "Jokpin ini pemuisi idola kakak. Puisinya nyentrik dan menggelitik. Mata kuliah pengkajian puisi semester ini yang menemukan dia dengan saya. Karena disuruh untuk meneliti salah satu buku puisi dari seorang pengarang, kakak memlih penulis ini. Ternyata puisinya keren. Dan kaget juga, ternyata ia juga bisa nulis cerpen. Cerpennya yang dimuat itu di Kompas hari ini. Kakak sampai relain uang jajan buat beli buku puisinya." Jelasku panjang lebar.

Masih menikmati ibadah makan malamnya, ia bertanya "Mana bukunya yang kamu beli?"
"Tunggu sebentar". Bergegas aku ke kamar dan mengambilkan buku itu. Kuserahkan padanya sebuah buku kumpulan puisi. Judulnya 'Kekasihku'.

Setelah makanan di atas piringnya tandas tanpa sisa, tak lama buku itu dibacanya. Aku yang sedang asik mengamatinya membaca puisi dalam hati, azan salat isya berkumandang dari musala yang tak jauh letaknya dari rumah kami. Ia meletakkan buku itu dan bergegas ke musala untuk menunaikan kewajibannya. Aku kecewa sekaligus bahagia. Kecewa karena buku puisi itu diletakkannya begitu saja dan bahagia karena baginya salat tiada nomor duanya.

Setelah salat aku kira ia akan membaca buku itu lagi. Ternyata aku salah. Ia lebih memilih membaca Al-quran daripada buku pemberianku. Aku mulai mengerti. Seindah apapun kata terangkai, tidak ada yang lebih indah daripada keindahan ibadah Ayah kepada Tuahannya.
Diam-diam sambil menulis, aku ingin jadi Ayah seperti dia.

Comments

Popular posts from this blog

Masa Jahiliyah

Everyday and Everynight Cover