Rindu Sungguhan



Alam memanggil saya kembali, untuk berdamai dengannya.



Tadinya sungguh, saya ingin naik gunung karena hanya ingin mencoba. Mencoba hal–hal yang saya belum pernah lakukan sebelumnya. Saya tahu, Mama tak akan pernah suka saya pergi ke gunung dan mendakinya, sebab seperti kebanyakan orang tua, mereka tidak suka anaknya melakukan hal-hal yang berbahaya. Sampai suatu ketika, liburan kuliah datang, ia rela mengiming-iming saya dengan membayar orang untuk mengajari saya menyetir mobil di sebuah tempat kursus (dan selain memberi uang jajan lebih tentunya) agar saya selama liburan ada di rumah dan tak naik gunung. Padahal, Mama saya tidak pernah sekalipun memberi lebih uang jajan saya. Sekalipun pernah, dapat saya pastikan karena telah memohon sebelumnya. Ayah saya tetap seperti biasanya, tidak akan berkomentar untuk persoalan saya pergi ke gunung. Ia hanya berpesan, “Jangan sampai telat salat berjamaah”, dan menambahkan sedikit sangu.
Akhirnya, setelah saya berhasil (tentu karena saya telah sampai puncak dan bisa pulang ke rumah dengan selamat) melakukan sebuah perjalanan pendakian ke Gunung Sumbing di Wonosobo untuk pertama kalinya, saya ketagihan ingin mencicipi perjalanan ke puncak-puncak lainnya. Walaupun saya mengeluh dan mengumpat (sungguh dalam hati) soal jalur-jalur pendakian yang terus menanjak dan carrier yang tak juga nyaman (bagaimanapun posisinya!) di pundak selama perjalanan, saya rindu rasa lelah itu. Saya juga rindu pembicaraan para pendaki, pertemuan dengan pendaki lain dengan berbagai cerita tentang rasa lelah yang sama-sama dirasakan di perjalanan.
Setelah pendakian pertama Gunung Sumbing di Wonosobo itu, saya belum pernah lagi punya rencana pergi ke puncak gunung lainnya. Sekelompok teman di rumah pernah mengajak ke Papandayan, namun saya tidak tertarik ikut, karena seperti yang saya katakan tadi, saya telah berjanji untuk tidak naik gunung kepada Mama (karena sudah diiming-iming belajar nyetir mobil dan diberikan jajan lebih tentunya). Lagi pula cuaca bulan Januari biasanya baru mulai musim hujan.  Cuaca yang tidak mendukung juga menjadi pertimbangan para pendaki agar bisa selamat sampai tujuan.
Yang menyebalkan adalah seorang teman yang mengajak saya pertama kali ke puncak Sumbing itu, Farah namanya. Apapun cuacanya, tetap saja mendaki. Malah belakangan berhasil ke Semeru. Menurut saya, anak ini memang banyak duit, jadi mau ke manapun perginya, tinggal tunjuk. Suatu hari, ia mengirim foto kepada saya. Dengan senyum manis di sebuah puncak gunung berlatar kabut putih sambil menyindir, “Fadlay, dapet salam dari SINDORO.”
Alam memanggil saya kembali, untuk berdamai dengannya. Sepintas pikiran itu datang.

Comments

Popular posts from this blog

Masa Jahiliyah

Everyday and Everynight Cover