Posts

Dua-dua *)

Image
Sungguh, salah satu hal yang paling menyebalkan di dunia adalah mengingat. Mengingat memori. Entah itu hanya sekadar memorabilia atau bahkan sebuah memorial. Mengingat nama-nama. Mengingat tanggal-tanggal. Sungguh, aku bukan ahlinya. Lupa adalah kelemahan sekaligus kekuatan terbesarku. Lupa terkadang selalu berujung pada sebuah penyesalan. Tetapi, terkadang lupa adalah sebuah rasa tentram yang selama ini kita usahakan. Untuk tidak lupa, aku mencatat semua potongan-potongan ingatan yang pernah tercipta antara kita dan semesta. Dan aku menyimpannya di dalam ruang pribadi bernama kenangan.   Tanggal-tanggal hanyalah sebuah angka yang menandakan bahwa hari dalam kehidupan terus melaju. Tanggal-tanggal selalu menciptakan momentum dalam hidup, tak terkecuali kelahiran sebuah jiwa. Kelahiran menjadi momentum sakral yang dimiliki setiap manusia. Bagaimanapun rumit prosesnya, kelahiran selalu menjadi pertanda bagi setiap jiwa bahwa hidup telah memilih kamu untuk hidup itu...

Wanita Pencinta Ketinggian

Bagimu yang mencintai ketinggian, pendakian gunung bukan hanya sebuah perjalanan, tapi lebih dari itu. Pendakian gunung adalah soal menemukan jawaban. Dan kamu lebih mencintai gunung daripada laut. “Kenapa?”, tanyaku suatu sore. “Karena orang-orang selalu mengatakan bahwa Tuhan adalah Yang Di Atas. Ketika aku melihat ke atas, tempat itu sangat jauh. Sangat tinggi. Kata banyak orang, puncak gunung adalah tempat terdekat untuk bertemu Tuhan. Hanya gunung satu-satunya sarana di bumi untuk mencapai puncak tertinggi sambil tetap berpijak di bumi. Dari tanah sini," ujarmu sambil menunjuk tanah tempat sekarang kamu berpijak. “Dan aku ingin bertemu Tuhan dari tempatku berpijak.” “Dulu, aku kira Tuhan ada di balik awan, tertutup olehnya. Tapi, setiap kali aku selesai mendaki gunung dan berdiri di atas awan, aku tidak menemukan Tuhan. Aku tidak kecewa sama sekali, karena aku bisa melihat banyak hal dari atas sana. Mungkin Tuhan lebih tinggi dari awan. Dari segalanya yang ada. ...

Ibadah Puisi

Saya: "Ayah, udah baca cerpen Kompas hari ini belum? Yang ngarang Jokpin loh. Dia penulis puisi idola kakak." Sambil melahap nasi goreng buatan Ibu, ia mendengarkan aku bicara dan berkata dengan raut muka terkejut "Oh itu karangan Jokowidodo. Tadi Ayah baru baca judulnya saja." Aku tidak kalah terkejutnya mendengar ucapannya. "Hush. Ini Jokpin maksudnya Joko Pinurbo. Bukan Joko Widodo". Sambil terkekeh ia menjawab "Oalah. Kirain Bapak Presiden kita nulis cerpen juga." Tanpa diminta bercerita aku melanjutkan "Jokpin ini pemuisi idola kakak. Puisinya nyentrik dan menggelitik. Mata kuliah pengkajian puisi semester ini yang menemukan dia dengan saya. Karena disuruh untuk meneliti salah satu buku puisi dari seorang pengarang, kakak memlih penulis ini. Ternyata puisinya keren. Dan kaget juga, ternyata ia juga bisa nulis cerpen. Cerpennya yang dimuat itu di Kompas hari ini. Kakak sampai relain uang jajan buat beli buku puisinya." ...

Can You Help Me?

R: "I'm sorry that I can't help you. I just feel like I am dissapointed you." F: "It's ok. You help me a lot." R: "When that I help you?." F: "Quite often. But you don't know that. But, I do." R: "Quite often? I feel like I only help you when you have your sign language task." F: "Did you forget? You help me when I was in love with you. You are not letting me fell by myself, or give me a parachute so the pain won't be hurt so much. But you choose to fell together. And we know, finally were meet in this line. You choose to fell together and standing right beside me now. That's the point how you help me now, but sometime you're just not realize. I love you." R: "Is that how I help you?" (Touched) F: "Yes. Really." R: "Thank you. I love you too. (She's going hug and kiss him)

Jakarta di Pagi Hari

Image
Sumber gambar: http://dithelen.blogspot.com/2012/02/pemungut-bukan-sampah-masyarakat.html "Percayalah, bahwa di dunia ini tak ada satupun anak di dunia yang bercita-cita bahwa ketika besar nanti ia akan menjadi seorang tukang sampah. Begitupun orang tuanya, tak ada yang mengharapkan anaknya menjadi seorang tukang sampah. Tapi coba kita lihat, betapa mulia pekerjaan itu. Andai tidak ada mereka di sini, akan jadi seperti apa Jakarta? Sedangkan kita buang sampah pada tempatnya saja masih malas." Sebuah catatan pribadi perjalanan pagi ini dari Bekasi menuju Depok, atas pengamatan seorang tukang sampah yang sedang bekerja di salah satu tempat pembuangan sampah di Jakarta.   Betapa mulianya beliau dan tiba-tiba kata-kata itu yang ada di kepala saya.